SAMPAN MUDA
Lokpati dan Anggana 1876
Berbekal bunyi kentongan yang
berkali-kali dipukul dengan potongan bambu, Herman terlonjak kaget dari dipan
tua berukuran 1,5 m × 1 m yang sudah 9 tahun menemaninya. Suara nyaring
kentongan itulah yang setiap pukul 02.00 WITA menjadi alarm gratis untuk membangunkannya.
Herman segera bergegas mengambil tas
lusuh yang tak berisikan apa-apa pemberian orang tuanya. Dan mengisinya dengan
sebungkus nasi yang ia masak sendiri juga dengan kerupuk yang selalu menjadi
menu sarapannya. Herman sudah terbiasa melakukan rutinitas sehari-hari seorang
diri, karena sejak usia 8 tahun kedua orangtuanya meninggalkannya bersama
kakeknya tanpa membekalinya apa-apa. Dan tepat 2 bulan setelah orang tua Herman
pergi, kakeknya pun pergi meninggalkannya untuk tidak kembali. Herman tinggal
seorang diri di seberang kecamatan Anggana. Dan ia menjadikan kesempatan
tersebut sebagai lahan untuk mencari nafkah.
15 menit kemudian, Herman sudah sampai di dermaga Lokpati
tempatnya mencari nafkah.
Setiap hari ia menjadi jasa antar siapa
saja yang ingin menyeberangi sungai Meriam. Dengan berbekal sebuah sampan dan
dayung yang ia sewa dari pak Narto tetangganya, Herman dengan tekun
mengantarkan penumpang ke kecamatan Anggana yang merupakan satu-satunya pasar
tradisional saat itu. Juga satu-satunya tempat meraih pendidikan.
“Anggana, Anggana “, “Anggana, Anggana”
suara Herman bersahut-sahutan dengan pencari nafkah lainnya. Bedanya hanya Herman
yang berusia tak lebih dari 10 tahun. “Anggana nak?” Seorang wanita dengan tas
belanja di lengan kanannya mendekati Herman yang sedang mengedarkan
pandangannya untuk mencari penumpang. Herman terkesiap dan dengan air muka
berbinar-binar segera ia mengangguk untuk mengiyakan. Butuh waktu sekitar 20
menit untuk sampai di dermaga kecamatan Anggana. Dan dari 20 menit itu Herman
menerima upah Rp. 200-,.
Waktu sudah menunjukkan pukul 04.30
WITA. Hari ini dalam waktu 2 jam saja Herman sudah mendapatkan 5 penumpang.
Benar-benar berbeda dari hari-hari sebelumnya. Herman menjalankan sampannya
mulai pukul 02.30 WITA smapai pukul 17.00 WITA, dan di hari-hari sebelumnya ia
hanya mendapat 10 sampai 12 penumpang. Tetapi, hari ini belum setengah hari ia
bekerja Herman sudah mendapatkan 5 orang penumpang. “Nak Herman sepertinya hari
ini dapat banyak penumpang?” Sapa pak Teguh. Pak Teguh adalah salah satu
pedagang di dermaga Anggana. “Lumayan pak, belum tengah hari sudah dapat 5
penumpang.” Herman mengakhiri kalimatnya dengan seulas senyum yang tak lepas
menghiasi bibirnya.
Matahari sudah siap membakar ubun-ubun
setiap pasang mata yang melintas di bawah pijarannya ketika seorang laki-laki
paruh baya meraih tas lusuh Herman yang berisi seluruh upahnya dari 11
penumpangnya hari ini. Herman benar-benar terkejut dan sontak mencoba untuk
meraih tas yang berada di genggaman lelaki yang tak dikenalnya. “Kembalikan!”
“Apa? Kembalikan kau bilang?” Lelaki tersebut hanya memberinya seulas senyum
licik penuh kemenagnan. Herman berusaha berteriak agar orang-orang di sekitar dermaga mencoba
untuk menolongnya. Tapi tak seorang pun mencoba untuk menolong Herman. Setiap
orang tahu, lelaki yang merampas tas Herman adalah preman pasar yang memang
sering berbuat sekehendak hatinya.
Lelaki tersebut berjalan sambil lalu
dengan mengibas-ngibaskan tas lusuh Herman yang berada dalam genggamannya. Herman
tetap berusaha mengejar lelaki tersebut dan tetap mencoba untuk meraih tas
lusuhnya, meskipun ia tahu usahanya tidak akan membuahkan hasil.
Herman terduduk lemas di atas sampan
yang berada di tepi dermaga. Tak ada cara lain untuk mendapatkan uangnya
kembali selain ia harus bekerja lagi. Kali ini, hingga matahari senja
menampakkan mega merahnya Herman tetap berusaha menawarkan jasa antar
sampannya. Masih dengan semangat yang sama saat mentari pagi menyapa, Herman
berteriak mencoba menarik perhatian siapa saja yang ingin menyeberangi sungai
Meriam.
Satu jam berlalu tanpa menghadiahkan
apa-apa. Tetapi Herman tetap setia menanti penumpang meski kini ia harus
bersahabat dengan rinai hujan yang berebut mengguyur tubuh kecilnya. “Tap tap
tap.......” suara langkah seseorang dengan tak sabar semakin mendekati Herman.
Sedikit rasa cemas menyelimutinya, karena di malam hari ia hanya bisa
mengandalkan cahaya bulan ataupun bintang sebagai alat penerangan yang kali ini
juga tak sedang menemaninya. Suara langkahnya semakin dekat, semakin dekat,
hingga terlihat sepasang siluet bertubuh besar dengan begitu banyak barang
bawaan di masing-masing lengan dan punggungnya.
“Bisa antar barang-barang kami ke
dermaga Lokpati?” Salah seorang lelaki yang kini dilihatnya dengan jelas
bertanya dengan cepat kepada Herman yang merupakan satu-satunya jasa antar saat
itu. “I, iya” Herman sedikit gugup dan juga benar-benar senang saat
mendengarnya.
Dengan cepat kedua lelaki bertubuh besar
tadi menaikkan semua barangnya ke atas sampan Herman. Setelah menerima upah
yang bisa dibilang tidak sedikit, Herman segera mengayuh dayungnya membelah
sungai Meriam tetap dengan tangisan langit yang menjadi saksi bisu kesedihan
juga kebahagiannya.
Perjalanannya tak semudah yang ia kira,
karena pada malam hari tak ada satu penerangan pun yang berpijar. Bulan dan
bintang pun seperti tak ingin menemaninya, karena awan begitu pekat menyelimuti
singgasananya. Malam begitu gelap, lebih gelap dari arang yang setiap hari ia
gunakan untuk menanak nasi. Petir mulai bersahut-sahutan saat Herman hampir
sempurna mencapai tengah sungai Meriam. Dari arah berlawanan samar-samar ia mendengar
sesuatu yang seakan menghampirinya. “Aaaaaaaaaaaaa.....” Herman berteriak mengeluarkan
seluruh tenaganya. Entah untuk apa. Karena ia yakin kini hanya jiwanya yang
mampu mengeluarkan kata. Ia tak bisa berbuat apa-apa. Tapi satu hal yang ia
yakini, ia hidup untuk berusaha meraih kehidupan bukan untuk meraih hasil dari
kehidupan.
Gelombang air yang begitu kencang sebentar
saja mampu menenggelamkan Herman dan sampannya yang berisi begitu banyak barang
yang sebenarnya harus ia antarkan sebagai amanah dari seseorang yang
memercayainya.