Teras

Jumat, 26 April 2013

BERANI
Bukan karya yang menjadi bestseller atau bahkan magnum ia adalah penulis yang hebat
Bukan menjadi lukisan yang ada di gedung putih ia pasti pelukis yang berbakat
Bukan pula pemimpin adalah tangguh ia yang mampu memenangkan hati semua rakyat

Tapi adalah ia yang berani merangkai kata meski tak memiliki makna istimewa
Tapi adalah ia yang berani membiaskan kesempatan meski hanya satu warna di atas kanvasnya
Tapi adalah ia yang berani mengungkapkan buah benaknya meski tak ada yang menggubris karya pikirnya

Kamis, 25 April 2013



ANTARA TAPE & TEMPE

Bagimana aku bisa merasa begitu terpuruk saat aku belum memiliki kesempatan yang tepat untuk dengan bahagia mengatakan “aku berhasil”.

Bukan gagal ungkapan yang tepat saat kita tak mampu meraih apa yang kita inginkan. Hanya saja saat itu bukan waktu terbaik untuk kita. Bukan karena Dia tak memihak kita saat Dia tak memberikan apa yang kita hajatkan. Tapi apa yang ia sajikan setelahnya adalah sesuatu yang kita butuhkan, sesuatu yang pasti menjadi hal terbaik untuk kita, sesuatu yang tidak lagi diragukan manfaat serta barokahnya.
Seorang pengarung sastra pernah mengungkapkan sabuah keindahan kata, “karena yang terindah adalah rahasia”. Bagaimana bisa yang terindah adalah sebuah rahasia? Sedangkan sesuatu yang belum kita ketahui dengan pasti hanya akan membuat diri ini mati rasa jika terus menanti untuk hanya sekedar mengerti. Seseorang yang benar-benar kuingin berkata padanya “untuk jangan menyerah” pernah sekali membisikkan suatu rangkaian pembentuk kata kepadaku. “Tentu saja yang terindah adalah sebuah rahasia, karena sesunggunnya hanya Sang Pemilik Rahasialah yang tentu paling memahami keindahan di balik rahasiaNya”.
Aku tak mengerti, dan juga tak bisa memahami bagaimana Dia mampu menciptakan suatu keindahan yang benar-benar indah, jika kita mampu memahami skenarioNya yang tak bisa dipahami hanya dengan mengerti, menekuni setiap lafadz-lafadzNya yang menyimpan segala jawaban, juga mendalami isyarat-isyarat tersiratNya yang lunglai menuai seribu satu arti. Saat aku memutuskan untuk mengatakan hidup ini akan bahagia jika seperti hidupnya atau seperti hidup mereka. Atau senang sekali jika bisa memiliki seperti apa yang yang dimilikinya atau dimiliki mereka. Saat itulah aku tak bisa mengarungi makna suatu masa terbaik yang Dia bingkiskan untuk hal terbaik dalam hidupku.
Seorang pembuat tempe takkan memberi ragi sebanyak seorang pembuat tape, karena hal itu tentu akan mempengaruhi kualitas tempe buatannya. Seperti itulah Penciptamu menentukan hal terbaik dalam hidupmu. Dia takkan menghiasi jejak langkah hidupmu dengan sesuatu yang hanya akan menjadi penghambat bagimu untuk menuju sesuatu yang sebenarnya menjadi tujuan hidupmu. Bukan suatu kemewahan yang melimpah, kesenangan yang di dapat hanya dengan mengedipkan mata, atau bahkan pangkat yang berjajar, adalah  sesuatu yang mengahadiahkan sebuah kebahagiaan juga kepuasan. Tapi apabila kita mampu bersyukur atas sebutir nasi atau seteguk air, saat itulah kita merasa hidup ini indah dan tak menginginkan apa yang menjadi hak orang lain. Dan disaat seseorang lain bisa menikmati nikmat yang Tuhan titipkan kepada kita, saat itulah kita memiliki sesuatu yang melimpah.
Kini aku memahami dengan pemahaman sederhanaku. Dia telah indah merangkai kisah indah deru nafas keindahan hidupku, dengan seindah-indahnya keindahanNya.

Rabu, 20 Maret 2013



SAMPAN MUDA
Lokpati dan Anggana 1876

Berbekal bunyi kentongan yang berkali-kali dipukul dengan potongan bambu, Herman terlonjak kaget dari dipan tua berukuran 1,5 m × 1 m yang sudah 9 tahun menemaninya. Suara nyaring kentongan itulah yang setiap pukul 02.00 WITA menjadi alarm gratis untuk membangunkannya.
Herman segera bergegas mengambil tas lusuh yang tak berisikan apa-apa pemberian orang tuanya. Dan mengisinya dengan sebungkus nasi yang ia masak sendiri juga dengan kerupuk yang selalu menjadi menu sarapannya. Herman sudah terbiasa melakukan rutinitas sehari-hari seorang diri, karena sejak usia 8 tahun kedua orangtuanya meninggalkannya bersama kakeknya tanpa membekalinya apa-apa. Dan tepat 2 bulan setelah orang tua Herman pergi, kakeknya pun pergi meninggalkannya untuk tidak kembali. Herman tinggal seorang diri di seberang kecamatan Anggana. Dan ia menjadikan kesempatan tersebut sebagai lahan untuk mencari nafkah.
15 menit kemudian, Herman sudah sampai di dermaga Lokpati tempatnya mencari nafkah.
Setiap hari ia menjadi jasa antar siapa saja yang ingin menyeberangi sungai Meriam. Dengan berbekal sebuah sampan dan dayung yang ia sewa dari pak Narto tetangganya, Herman dengan tekun mengantarkan penumpang ke kecamatan Anggana yang merupakan satu-satunya pasar tradisional saat itu. Juga satu-satunya tempat meraih pendidikan.
“Anggana, Anggana “, “Anggana, Anggana” suara Herman bersahut-sahutan dengan pencari nafkah lainnya. Bedanya hanya Herman yang berusia tak lebih dari 10 tahun. “Anggana nak?” Seorang wanita dengan tas belanja di lengan kanannya mendekati Herman yang sedang mengedarkan pandangannya untuk mencari penumpang. Herman terkesiap dan dengan air muka berbinar-binar segera ia mengangguk untuk mengiyakan. Butuh waktu sekitar 20 menit untuk sampai di dermaga kecamatan Anggana. Dan dari 20 menit itu Herman menerima upah Rp. 200-,.
Waktu sudah menunjukkan pukul 04.30 WITA. Hari ini dalam waktu 2 jam saja Herman sudah mendapatkan 5 penumpang. Benar-benar berbeda dari hari-hari sebelumnya. Herman menjalankan sampannya mulai pukul 02.30 WITA smapai pukul 17.00 WITA, dan di hari-hari sebelumnya ia hanya mendapat 10 sampai 12 penumpang. Tetapi, hari ini belum setengah hari ia bekerja Herman sudah mendapatkan 5 orang penumpang. “Nak Herman sepertinya hari ini dapat banyak penumpang?” Sapa pak Teguh. Pak Teguh adalah salah satu pedagang di dermaga Anggana. “Lumayan pak, belum tengah hari sudah dapat 5 penumpang.” Herman mengakhiri kalimatnya dengan seulas senyum yang tak lepas menghiasi bibirnya.
Matahari sudah siap membakar ubun-ubun setiap pasang mata yang melintas di bawah pijarannya ketika seorang laki-laki paruh baya meraih tas lusuh Herman yang berisi seluruh upahnya dari 11 penumpangnya hari ini. Herman benar-benar terkejut dan sontak mencoba untuk meraih tas yang berada di genggaman lelaki yang tak dikenalnya. “Kembalikan!” “Apa? Kembalikan kau bilang?” Lelaki tersebut hanya memberinya seulas senyum licik penuh kemenagnan. Herman berusaha berteriak  agar orang-orang di sekitar dermaga mencoba untuk menolongnya. Tapi tak seorang pun mencoba untuk menolong Herman. Setiap orang tahu, lelaki yang merampas tas Herman adalah preman pasar yang memang sering berbuat sekehendak hatinya.
Lelaki tersebut berjalan sambil lalu dengan mengibas-ngibaskan tas lusuh Herman yang berada dalam genggamannya. Herman tetap berusaha mengejar lelaki tersebut dan tetap mencoba untuk meraih tas lusuhnya, meskipun ia tahu usahanya tidak akan membuahkan hasil.
Herman terduduk lemas di atas sampan yang berada di tepi dermaga. Tak ada cara lain untuk mendapatkan uangnya kembali selain ia harus bekerja lagi. Kali ini, hingga matahari senja menampakkan mega merahnya Herman tetap berusaha menawarkan jasa antar sampannya. Masih dengan semangat yang sama saat mentari pagi menyapa, Herman berteriak mencoba menarik perhatian siapa saja yang ingin menyeberangi sungai Meriam.
Satu jam berlalu tanpa menghadiahkan apa-apa. Tetapi Herman tetap setia menanti penumpang meski kini ia harus bersahabat dengan rinai hujan yang berebut mengguyur tubuh kecilnya. “Tap tap tap.......” suara langkah seseorang dengan tak sabar semakin mendekati Herman. Sedikit rasa cemas menyelimutinya, karena di malam hari ia hanya bisa mengandalkan cahaya bulan ataupun bintang sebagai alat penerangan yang kali ini juga tak sedang menemaninya. Suara langkahnya semakin dekat, semakin dekat, hingga terlihat sepasang siluet bertubuh besar dengan begitu banyak barang bawaan di masing-masing lengan dan punggungnya.
“Bisa antar barang-barang kami ke dermaga Lokpati?” Salah seorang lelaki yang kini dilihatnya dengan jelas bertanya dengan cepat kepada Herman yang merupakan satu-satunya jasa antar saat itu. “I, iya” Herman sedikit gugup dan juga benar-benar senang saat mendengarnya.
Dengan cepat kedua lelaki bertubuh besar tadi menaikkan semua barangnya ke atas sampan Herman. Setelah menerima upah yang bisa dibilang tidak sedikit, Herman segera mengayuh dayungnya membelah sungai Meriam tetap dengan tangisan langit yang menjadi saksi bisu kesedihan juga kebahagiannya.
Perjalanannya tak semudah yang ia kira, karena pada malam hari tak ada satu penerangan pun yang berpijar. Bulan dan bintang pun seperti tak ingin menemaninya, karena awan begitu pekat menyelimuti singgasananya. Malam begitu gelap, lebih gelap dari arang yang setiap hari ia gunakan untuk menanak nasi. Petir mulai bersahut-sahutan saat Herman hampir sempurna mencapai tengah sungai Meriam. Dari arah berlawanan samar-samar ia mendengar sesuatu yang seakan menghampirinya. “Aaaaaaaaaaaaa.....” Herman berteriak mengeluarkan seluruh tenaganya. Entah untuk apa. Karena ia yakin kini hanya jiwanya yang mampu mengeluarkan kata. Ia tak bisa berbuat apa-apa. Tapi satu hal yang ia yakini, ia hidup untuk berusaha meraih kehidupan bukan untuk meraih hasil dari kehidupan.
Gelombang air yang begitu kencang sebentar saja mampu menenggelamkan Herman dan sampannya yang berisi begitu banyak barang yang sebenarnya harus ia antarkan sebagai amanah dari seseorang yang memercayainya.
 

Sabtu, 16 Maret 2013


Karena sebenarnya manusia bisa memilih dan meraih apa yang menusia-manusia itu inginkan.



Bukan aku tak rindu
Bukan aku tak mengingatmu
Aku hanya ingin merindukanmu dalam diamku
Tak ingin seseorang lain menikmati kerinduanku
Karena ruang hatiku telah penuh sesak untuk merindukanmu